Jakarta- Proses hukum terhadap terdakwa Tony Surjana dalam kasus dugaan pemalsuan surat dan data otentik di Pengadilan Negeri Jakarta Utara menghadirkan kemelut.
Pasalnya, pelapor dalam kasus tersebut belum juga dihadirkan dalam persidangan, meskipun agenda sidang telah memasuki tahap tanggapan dan keterangan ahli.
Netralitas dan keprofesionalan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Riko SH, MH, dari Kejaksaan Negeri Jakarta Utara, juga dipertanyakan karena dianggap mengabaikan urutan prosedur yang lazim dalam sidang pidana yang menyangkut kerugian pihak lain.
Padahal, umumnya, dalam perkara seperti ini, saksi korban atau pelapor akan diperiksa lebih dahulu oleh majelis hakim, sebelum mendengarkan keterangan saksi lainnya dan ahli.
Namun, hingga kini, dua pihak yang mengaku sebagai korban yakni Taslimah dan Gozali — belum pernah dihadirkan di ruang sidang.
Celakanya, JPU hanya menyebut bahwa Taslimah sedang sakit, dan Gozali telah meninggal dunia, namun tanpa menyertakan dokumen pendukung seperti surat keterangan sakit maupun akta kematian.
Situasi ini menimbulkan keberatan dari penasehat hukum terdakwa, Brian Praneda, S.H.
Brian secara tegas meminta JPU menunjukkan bukti otentik atas kondisi saksi-saksi tersebut.
Disamping itu, Bria juga menolak rencana JPU untuk hanya membacakan keterangan dua orang ahli tanpa kehadiran langsung mereka di persidangan.
“Untuk membuktikan kebenaran laporan korban, mereka seharusnya dihadirkan dan diperiksa langsung. Dari laporan merekalah terdakwa akhirnya duduk di kursi pesakitan,” ujar Brian.
Dalam sidang sebelumnya, telah diperiksa lebih dari sepuluh orang saksi, termasuk pegawai Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Utara seperti Rohmat (bagian ukur) dan Dedi (mantan Kasi Sengketa). Para saksi menyatakan tidak mengenal terdakwa Tony Surjana dan tidak pernah berinteraksi dengannya dalam proses pengurusan surat ukur atau verifikasi tanah yang kini disengketakan.
Saksi juga menyampaikan bahwa verifikasi batas tanah berdasarkan surat permohonan pengukuran dari Tony Surjana tidak menghasilkan perubahan atas data yang sudah tercantum dalam Sertifikat Hak Milik (SHM) sebelumnya.
Sementara itu, Sarman Sinabutar, penyidik dari Unit Bangtan Polres Jakarta Utara, turut hadir sebagai saksi dan menyatakan bahwa ia ikut dalam proses pengukuran tanah atas perintah pimpinan untuk kepentingan penyidikan. Ia menyebut pengukuran dilakukan pada jam kerja, bukan hari libur.
Sarman juga menegaskan bahwa pengukuran dilakukan saat objek tanah sedang dalam status penyelidikan, berdasarkan laporan polisi yang dibuat oleh Tony Surjana terhadap seseorang bernama Abdullah, yang saat itu telah ditetapkan sebagai tersangka.
Dalam dakwaan JPU, disebutkan bahwa pada tahun 1998 dan 1999, Tony Surjana mengajukan penggantian blanko sertifikat untuk beberapa SHM, yakni No. 512 dan 610/Pusaka Rakyat, serta No. 64/Sukapura, sebagai bentuk penyesuaian wilayah administrasi dari Kabupaten Bekasi ke Jakarta Utara, dan dari Kelurahan Sukapura ke Kelurahan Rorotan.
Namun, dalam kesaksian yang telah diberikan sejauh ini, tidak ada satu pun saksi yang secara tegas menyatakan bahwa pemalsuan surat dilakukan oleh terdakwa.
Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan di kalangan publik maupun pemerhati hukum: Apakah proses persidangan ini sudah sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) penanganan perkara pidana?
“Tidak ada aturan baku dalam KUHAP mengenai urutan saksi, tapi secara praktik, korban adalah saksi utama yang seharusnya diperiksa terlebih dahulu,” ujar seorang praktisi hukum yang enggan disebut namanya.
Persidangan ini menjadi cerminan penting bagi penegakan hukum di Indonesia, bahwa transparansi dan akuntabilitas aparat hukum, termasuk jaksa penuntut umum, tetap harus dijaga agar proses peradilan tetap berjalan adil dan tidak menimbulkan kecurigaan publik.