SUMENEP – Malam yang harusnya jadi momen santai menikmati kuliner di kawasan Tajamara Sumenep, berubah jadi mimpi buruk yang memalukan bagi seorang pengunjung inisial HR yang datang bersama keluarganya. Bukan karena jajanannya basi, bukan karena antreannya panjang, tapi karena perlakuan aneh dan tidak manusiawi.
Satu hal yang bikin muak, saat sang pembeli dipaksa cari tukaran uang sendiri oleh pedagang Tajamara.
Wisata kuliner yang seharusnya terus dijaga kini berubah menjadi wisata sengsara. Tajamara bikin pengunjung trauma.
Di tengah keramaian, pembeli yang sedang kurang sehat berjalan dari lapak ke lapak seperti pengemis recehan, hanya untuk bisa membayar jajanan yang ia pesan. Sebuah drama kecil yang seharusnya tidak pernah terjadi, jika pedagang tahu diri, dan pengelola punya otak.
Bahkan, ketika pengunjung meminta bantuan ketua Paguyuban Tajamara yang juga berjualan di lokasi agar membantu memberi tukaran receh, justru memberi jawaban yang terkesan menggelitik nurani.
“Tidak ada tukaran. Karena uang kami seratusan semua,” kata HR, Selasa, 5/8/2025.
Sebuah jawaban yang terdengar tak berempati, sekaligus menjadi simbol betapa tidak becusnya manajemen di balik layar Tajamara. Seolah-olah, pengunjunglah yang salah karena tidak bawa recehan. Seolah-olah, pembeli adalah beban yang harus bersusah payah sendiri.
Tak hanya dari pedagang, perlakuan tidak mengenakkan juga datang dari petugas parkir yang semestinya menjadi bagian dari pelayanan pengunjung. Dalam kondisi bingung karena tak bisa membayar jajanan akibat ketiadaan uang kecil, pembeli mencoba mencari bantuan kepada petugas parkir yang berada tak jauh dari lokasi.
Namun alih-alih mendapatkan solusi atau setidaknya sedikit empati, si petugas justru bersikap cuek dan dingin bahkan bilang tidak ada yang recehan.
“Tidak ada pak,” ujar dia yang kemudian berlalu begitu saja, seolah bukan urusannya.
Sikap acuh dari petugas ini menambah luka di tengah buruknya manajemen pelayanan yang seharusnya bisa diandalkan. Situasi ini membuka mata banyak orang, Tajamara bukan zona nyaman tapi zona abai. Dimana pedagang merasa bisa berlaku semaunya. Dimana pembeli tak dihargai, sistem bobrok sewakan dipelihara.
Pengunjung bahkan menyebut Tajamara kini lebih pantas disebut Tajaparah.
“Pantasnya disebut Tajaparah. Semrawut, tidak terorganisir, dan tidak layak disebut sebagai destinasi kuliner. Tajamara ini bikin kami trauma. Untuk membayar jajanan saja saya harus belanja dulu ke toko sembako seberang jalan,” ungkapnya.
Kalau perkara tukaran uang saja pengelola tak sanggup atur, bagaimana mereka bisa bicara tentang pemulihan ekonomi UMKM atau tentang wisata kuliner unggulan.
“Padahal Bupati merelokasi para PKL ke tempat tersebut agar mendorong semangat kolaborasi dan kekeluargaan,” tuturnya.
Dalam dunia usaha, pelayanan adalah segalanya. Tapi di Tajamara, pelayanan dianggap remeh, seolah-olah pembeli butuh pedagang, bukan sebaliknya.
Padahal faktanya, tanpa pembeli, Tajamara bukan apa-apa. Hanya sekumpulan tenda dan lampu hias tanpa makna.
Akibat manajemen yang ogah, Tajamara justru mencoreng nama baik dirinya sendiri.
Pemerintah Daerah harus segera mengevaluasi pengelolaan Tajamara dari atas sampai bawah bahkan ketidakjelasan pengelolaan uang parkir.
Lahan parkir yang dikelola setiap malam itu tak memiliki papan tarif resmi, tak ada karcis, dan tak jelas siapa yang bertanggung jawab atas pungutan yang dilakukan.
Pengunjung hanya diarahkan oleh petugas tanpa identitas jelas, lalu diminta membayar sejumlah uang tanpa bukti apa pun.
“Kita bayar parkir, tapi nggak pernah tahu uangnya buat siapa. Nggak ada karcis, nggak ada keterangan. Sistem kayak gini rawan diselewengkan. Ini contoh pengelolaan yang tidak becus,” pungkas seorang pengunjung yang mengaku sering jajan di Tajamara.
Sementara itu, keluarga pengunjung mengatakan, Tajamara dibangun dengan semangat kebersamaan, tapi sekarang dikelola seperti milik segelintir orang.
“Kalau suara pengunjung diabaikan, kalau keluhan dianggap remeh, dan kalau pelayanan buruk dibenarkan, maka jangan salahkan publik jika suatu hari nanti, Tajamara hanya jadi tempat sepi dengan reputasi mati,” pungkasnya.
“Saatnya kita bersuara, bubarkan paguyuban, bangun kembali Tajamara,” tambahnya.
Penulis : Redaksi